Posts Tagged ‘doa’

Tuhan & demokrasi

Posted: September 11, 2009 in Pelita hati
Tag:, , ,
doa
doa

Siang itu sekelompok orang nampak bergerombol, berteriak di depan sebuah masjid.

Apa mereka sedang antri zakat ? Tidak.

Apa mereka sedang antri takjil ? juga bukan.

Dengan mengusung sepanduk dan aneka poster mereka sedang berdemo di rumah Tuhan, sedang menuntut  Sang Penguasa Alam membuka kran demokrasi. Mereka berharap Tuhan berkenan mendengar dan mengabulkan sebuah permintaan : agar umat manusia yang lahir  diberi kebebasan untuk memilih orang tuanya masing-masing. Diberi otonomi untuk menentukan arah takdirnya sendiri.

Ketika Musa penasaran akan ranah ketuhanan, Dia “mengabulkan” dengan mengajaknya berdialog di bukit Tursina.

Ketika Ibrohim ingin menguatkan hati tentang hakekat kehidupan, Dia meluluskan. Seekor burungpun jadi kelinci percobaan dan menjadi ajang pembuktian bahwa menghidupkan sesuatu adalah semudah membalik telapak tangan.

Ketika Muhammad merasa umatnya akan keberatan dengan jumlah bilangan rokaat sholat yang ditetapkan, lagi lagi Dia tak berkeberatan untuk negoisasi ulang dan memberi banyak keringanan.

****************

Kian siang kian banyak yang memberi dukungan, kian semarak jumlah pendemo yang datang. Yel yel berbunyi bersahutan dari kiri dan kanan. Tiba tiba awan yang semula putih perlahan berubah warna. Panas yang serasa menggigit kulit berangsur sirna, tergantikan rasa gerah yang mampu membasahkan kemeja. Angin kini tak lagi menyapa, entah sembunyi dimana bersama siapa.

Sekelebat kilat menyambar yang diikuti dengan suara guntur memekakkan gendang telinga. Sebagian orang tiarap seakan tanpa daya, sebagian lagi orang menyimpan rasa takut diujung jantungnya dan tak sedikit yang spontan berteriak kencang : Allahu akbar……………….Dan belum pupus rasa kaget tinggal di hati, kembali datang sang kilat tuk kedua kali. Tanpa diminta semua pendemo hilang kesadaran, terkapar dalam pelukan.

****************

Kala temaram senja datang memberi salam, para pendemo mulai bangkit dari mimpi panjang nan kelam. Mereka kini berada di atas bukit, diantara tanah lapang yang luas terbentang, duduk diatas kursi yang tak ubahnya sebuah singgasana. Mereka kini menjadi Tuhan bagi diri sendiri.

Sejauh mata memandang hanya gersang tanpa batang pohon sebagai simbol kehidupan. Sejauh mata memandang hanya ada kertas putih berserakan. Sebait kalimat nampak tertulis diatasnya, bisa pujian bisa juga ungkapan tangis yang berkepanjangan, semua berujung pada sebuah doa dan permintaan. Ada yang inginkan harta, ada yang meminta wanita dan banyak pula yang mengharap tahta. Sungguh tak terbayang berapa lama bila harus satu demi satu membacanya apalagi harus mewujudkannya.

Kita manusia memang makhluq yang tak tahu malu, yang enggan bersyukur pada apa yang telah kita dapatkan. Ketika lampu padam barang sejenak, kita sudah gelisah, membakar amarah di dada. Ketika hati merasa sepi ditinggal sanak famili kembali ke pangkuan illahi, kita sudah merasa dunia ini terhenti. Ketika roda nasib berputar dan kita tetap bergulat dalam kemiskinan, kita sudah merasa Tuhan mengabaikan nuansa keadilan. Kita selalu berkeluh kesah.

Padahal kita pernah berlatih 9 bulan lamanya hidup dalam kegelapan, tanpa sedikitpun harta dan hanya berkawan dengan kesepian…………………….di dalam perut sang bunda. Padahal kita mengarungi kehidupan ini hanya berbekal harta pinjaman karena kita terlahir dalam keadaan telanjang.

Sayup sayup suara lembut membelai telinga, merasuki hati dengan sejuta kasih.

Bila ingin berniaga tanpa pernah alami kerugian dan selalu rasakan keuntungan, datanglah padaku.

Bila punya harapan dan inginkan derajat yang tinggi, datanglah di sepertiga malamku.

Bila ingin rasakan kemuliaan, genapkan puasa dan tunggulah malam yang lebih baik dari seribu bulan.

*

Ya, robb ku ampunilah segala dosaku dan jadikan aku orang yang senantiasa bersyukur padaMu.

Romadhon 21, 1430 H